Jumat, 21 Maret 2014

ANALISA KARYA SASTRA (TUGAS IBD)

TUHAN Sembilan Senti
karya: Taufik Ismail


Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa
tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai
merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR
merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi
merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan
pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok, di ruang kepala
sekolah ada guru merokok, di kampus mahasiswa merokok, di ruang kuliah
dosen merokok, di rapat POMG orang tua murid merokok, di perpustakaan
kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok, di bis kota sumpek yang berdiri yang
duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal penyeberangan
antar pulau penumpang merokok, di andong Yogya kusirnya merokok, sampai
kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi
tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di
toko buku orang merokok, di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling
menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di
kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat
penularannya ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di
dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok, di apotik yang antri obat
merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu
dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang
merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI
sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan
bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor
perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil 'ek-'ek orang goblok merokok, di
dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok, di
ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok
merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi orang
perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat
merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli
hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi
ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip
berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, ke
mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99
butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan
tangan kiri. Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul
yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu. Mamnu'ut
tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan
ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati malii'atun bi mukayyafi al hawwa'i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok. Laa taqtuluu anfusakum.

Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15
penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000
zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu 'alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama. Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang
diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu
ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap
rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai
terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120
orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih
dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang
bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban
narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa
di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan
celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan
indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku' dan
sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan
fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap
tuhan-tuhan ini,

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.



Analisa:

Puisi diatas memiliki tema masyarakat Indonesia yang sudah meng'halal'kan serta menjadikan rokok sebagai budaya. Seakan-akan mereka tidak bisa lepas dari si panjang 9 senti ini, sangat ketergantungan seperti ketergantungan kita terhadap Tuhan. Penulis (Taufik Ismail) menyindir berbagai profesi yang merokok dari kabinet, petani, MA dll.

Amanat:

Janganlah kita anggap rokok sebagai 'Tuhan' kita. rokok hanya menghasilkan berbagai penyakit tanpa ada manfaatnya pada kesehatan tubuh kita. dan ingatlah bahwa kita masih mempunyai Tuhan kita yang sesungguhnya, tempat kita meminta dan memohon, yaitu Allah SWT.

Referensi:
[URL]: http://www.lokerseni.web.id/2011/06/puisi-tuhan-sembilan-senti-karya-taufik.html

Nama: Giantory Allan Purnomo
NPM: 1A113159
Kelas: 4KA38

Kamis, 13 Maret 2014

TUGAS IBD (Kebudayaan NTT) SOFTSKILL

     Budaya Nusa Tenggara Timur Provinsi NTT kaya akan ragam budaya baik bahasa maupun suku bangsanya seperti tertera dalam di bawah ini: Jumlah Bahasa Daerah Jumlah bahasa yang dimiliki cukup banyak dan tersebar pada pulau-pulau yang ada yaitu: Pengguna Bahasa di Nusa Tenggara Timur Timor, Rote, Sabu, dan pulau-pulau kecil disekitarnya: Bahasanya menggunakan bahasa Kupang, Melayu Kupang, Dawan Amarasi, Helong Rote, Sabu, Tetun, Bural: Alor dan pulau-pulau disekitarnya: Bahasanya menggunakan Tewo kedebang, Blagar, Lamuan Abui, Adeng, Katola, Taangla, Pui, Kolana, Kui, Pura Kang Samila, Kule, Aluru, Kayu Kaileso Flores dan pulau-pulau disekitarnya.

Bahasa Daerah 
Bahasanya menggunakan melayu, Laratuka, Lamaholot, Kedang, Krawe, Palue, Sikka, lio, Lio Ende, Naga Keo, Ngada, Ramba, Ruteng, Manggarai, bajo, Komodo Sumba dan pualu-ulau kecil disekitarnya: Bahasanya menggunakan Kambera, Wewewa, Anakalang, Lamboya, Mamboro, Wanokaka, Loli, Kodi 

Suku dan Etnis
Jumlah Suku /Etnis Penduduk asli NTT terdiri dari berbagai suku yang mendiami daerah-daerah yang tersebar Diseluruh wilayah NTT, sebagai berikut: Helong: Sebagian wilayah Kabupaten Kupang (Kec.Kupang Tengah dan Kupang Barat serta Semau) Dawan: Sebagian wilayah Kupang (Kec. Amarasi, Amfoang, Kupang Timur, Kupang Tengah, Kab timor Tengah selatan, Timor Tengah Utara, Belu ( bagian perbatasan dengan TTU) Tetun: Sebagian besar Kab. Belu dan wilayah Negara Timor Leste Kemak: Sebagian kecil Kab. Belu dan wilayah Negara Timor Leste Marae: Sebagian kecil Kab. Belu bagian utara dekat dengan perbatasan dengan Negara Timor Leste Rote: Sebagian besar pulau rote dan sepanjang pantai utara Kab Kupang dan pulau Semau Sabu / Rae Havu: Pulau Sabu dan Raijua serta beberapa daerah di Sumba Sumba: Pulau Sumba Manggarai Riung: Pulau Flores bagian barat terutama Kan Manggarai dan Manggarai Barat Ngada: Sebagian besar Kab Ngada Ende Lio: Kabupaten Ende Sikka-Krowe Muhang: Kabupaten Sikka Lamaholor: Kabupaten Flores Timur meliputi Pulau Adonara, Pulau Solor dan sebagian Pulau Lomblen Kedang: Ujung Timur Pulau Lomblen Labala: Ujung selatan Pulau Lomblen Pulau Alor: Pulau Alor dan pulau Pantar.

Budaya Flores Timur
 BUDAYA FLORES TIMUR Flotim merupakan wilayah kepulauan dengan luas 3079,23 km2, berbatasan dengan kabupaten Alor di timur, kabupaten Sikka di barat utara dengan laut Flores dan selatan, laut Sawu. Orang yang berasal dari Flores Timur sering disebut orang Lamaholot, karena bahasa yang digunakan bahasa suku Lamaholot. Konsep rumah adat orang Flotim selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat dijadikan tempat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi yang mengciptakan dan yang empunya bumi). Pelapisan social masyarakat tergantung pada awal mula kedatangan penduduk pertama, karena itu dikenal adanya tuan tanah yang memutuskan segala sesuatu, membagi tanah kepada suku Mehen yang tiba kemudian, disusul suku Ketawo yang memperoleh hak tinggal dan mengolah tanah dari suku Mehen. Suku Mehen mempertahankan eksistensinya yang dinilainya sebagai tuan tanah, jadilah mereka pendekar-pendekar perang, yang dibantu suku Ketawo. Mata pencaharian orang Flotim/Lamaholot yang utama terlihat dalam ungkapan sebagai berikut: Ola tugu,here happen, lLua watana, Gere Kiwan, Pau kewa heka ana, Geleka lewo gewayan, toran murin laran. Artinya: Bekerja di ladang, Mengiris tuak, berkerang (mencari siput dilaut), berkarya di gunung, melayani/memberi hidup keluarga (istri dan anak-anak) mengabdi kepada pertiwi/tanah air, menerima tamu asing.


Budaya Sikka
 BUDAYA SIKKA Sikka berbatasan sebelah utara dengan laut Flores, sebelah selatan dengan Laut Sabu, dan sebelah timur dengan kabupaten Flores Timur, bagian barat dengan kabupaten Ende. Luas wilayah kabupaten Sikka 1731,9 km2. Ibu kota Sikka ialah Maumere yang terletak menghadap ke pantai utara, laut Flores. Konon nama Sikka berasal dari nama suatu tempat dikawasan Indocina. Sikka dan dari sinilah kemungkinan bermula orang berimigrasi kewilayah nusantara menuju ke timur dan menetap disebuah desa pantai selatan yakni Sikka. Nama ini Kemudian menjadi pemukiman pertama penduduk asli Sikka di kecamatan Lela sekarang. Turunan ini bakal menjadi tuan tanah di wilayah ini. Pelapisan sosial dari masyarakat Sikka. Lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang terdiri para raja dan bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman dahulu ialah memiliki warisan pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di samping pemilikan harta warisa keluarga maupun nenek moyangnya. Lapisan kedua ialah Ata Rinung dengan ciri pelapisan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan dan melanjutkan semua amanat terhadap masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal sebagai lapisan ketiga yakni Mepu atau Maha. Secara umum masyarakat kabupaten Sikka terinci atas beberapa nama suku; (1) ata Sikka, (2) ata Krowe, (3) ata Tana ai, desamping itu dikenal juga suku-suku pendatang yaitu: (4) ata Goan, (5) ata Lua, (6) ata Lio, (7) ata Ende, (8) ata Sina, (9) ata Sabu/Rote, (10) ata Bura. Mata pencaharian masyarakat Sikka umumnya pertanian. Adapun kelender pertanian sbb: Bulan Wulan Waran - More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk membersihkan kebun, menanam, menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo (Januari, Pebuari, Maret) masa untuk menyiangi kebun (padi dan jagung) serta memetik, dalam bulan Balu Goit - Balu Epan - Blepo (April s/d Juni) masa untuk memetik dan menanam palawija /kacang-kacangan. Sedangkan pada akhir kelender kerja pertanian yaitu bulan Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus - September).

Budaya Ende
 BUDAYA ENDE Batas-batas wilayahnya yang membentang dari pantai utara ke selatan itu adalah dibagian timur dengan kabupaten Sikka, bagian barat dengan kabupaten Ngada, utara dengan laut Flores, selatan dengan laut Sabu. Luas kabupaten Ende 2046,6 km2, iklim daerah ini pada umumnya tropis dengan curah hujan rata-rata 6096 mm/tahun dengan rata rata jumlah hari hujan terbanyak pada bulan November s/d Januari. Daerah yang paling terbanyak mendapat hujan adalah wilayah tengah seperti kawasan gunung Kalimutu, Detusoko, Welamosa yang berkisar antara 1700 mm s/d 4000 mm/tahun. Nama Ende sendiri konon ada yang menyebutkannya sebagai Endeh, Nusa Ende, atau dalam literatur kuno menyebut Inde atau Ynde. Ada dugaan yang kuat bahwa nama itu mungkin sekali diberikan sekitar abad ke 14 pada waktu orang-orang maleyu memperdagangkan tenunan besar nan mahal yakni Tjindai sejenis sarung patola dalam pelayaran perdagangan mereka ke Ende. Ende/Lio sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun demikian sikap ego dalam menyebutkan diri sendiri seperti : Jao Ata Ende atau Aku ata Lio dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri khas kedua sebutan itu. Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut Ende/Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam kenyataan wilayah kebudayaan (tereitorial kultur) nampaknya lebih luas Lio dari pada Ende. Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya pada mula dari keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana (anak-anak) kemudian diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara tradisional terbuat dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang. Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki ria bewa, lapisan bansawan menengah disebut Mosalaki puu dan Tuke sani untuk masyarakat biasa. Sedangkan masyarakat Ende bangsawan disebut Ata NggaE, turunan raja Ata Nggae Mere, lapisan menegah disebut Ata Hoo dan budak dati Ata Hoo disebut Hoo Tai Manu.

Budaya Ngada
 BUDAYA NGADA Ngada merupakan kabupaten yang terletak diantara kabupaten Ende (di timur) dan Manggarai (di barat). Bajawa ibu kotanya terletak di atas bukit kira-kira 1000 meter di atas permukaan laut. Masyarakat ini dikenal empat kesatuan adat (kelompok etnis) yang memiliki pelbagai tanda-tanda kesatuan yang berbeda. Kesatuan adat tersebut adalah : (1) Nagekeo, (2) Ngada, (3) Riung, (4) Soa. Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri kekrabatannya dengan mendukung semacam tanda kesatuan mereka. Arti keluarga kekrabatan dalam masyarakat Ngada umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih luas satu simbol dalam pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha). Ikatan nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekrabatan dari kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah. Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan seorang yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu. Rumah tradisional disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di Ende/Lio (dinding atap, dan lantai /panggungnya). Secara tradisional rumah adat ditandai dengan Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda. Pelapisan sosial teratas disebut Ata Gae, lapisan menengah disebut Gae Kisa, dan pelapisan terbawah disebut Ata Hoo. Sumber lain menyebutkan pelapisan sosial biasa dibagi atas tiga, Gae (bangsawan), Gae Kisa = kuju, dan golongan rendah (budak). Ada pula yang membagi atas empat strata, Gae (bangsawan pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja (bangsawan ketiga), dan Bheku (bangsawan keempat). Para istri dari setiap pelapisan terutama pelapisan atas dan menengah disebut saja Inegae/Finegae dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan segala sesuatu di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran. Masyarakat Nagekeo pendukung kebudayaan Paruwitu (kebudayaan berburu), masyarakat Soa pendukung Reba (kebudayaan tahun baru, pesta panen), Pendukung kebudayaan bertani dalam arti yang lebih luas ialah Ngadhu/Peo, terjadi pada sebagian kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada. 

Budaya Manggarai
BUDAYA MANGGARAI Manggarai terletak di ujung barat pulau Flores, berbatasan sebelah timur dengan kabupaten Ngada, barat dengan Sealat sapepulau Sumbawa/kabupaten Bima, utara dengan laut Flores dan selatan dengan laut Sabu. Luas wilayah 7136,14 km2, wilayah ini dapat dikatakan paling subur di NTT. Areal pertanian amat luas dan subur, perkebunan kopi yang membentang disebahagian wilayahnya, curah hujan yang tinggi yaitu dalam setahun mencapai 27,574 mm, sepertiga dari jumlah itu (lebih dari 7000mm) turun pada bulan Januari. Ibu kota Manggarai terletak kira-kira 1200 meter di atas permukaan laut, di bawa kaki gunung Pocoranaka Pembentukan keluarga batih terdiri dari bapak, mama dan anak-anak yang disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo membentuk klen kecil Kilo, kemudian klen sedang Panga dan klen besar Wau. Beberapa istilah yang dikenal dalam sistim kekrabatan antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri). Strata masyarakat Manggarai terdiri atas 3 golongan, kelas pertama disebut Kraeng (Raja/bangsawan), kelas kedua Gelarang ( kelas menengah), dan golongan ketiga Lengge (rakyat jelata). Raja mempunyai kekuasaan yang absolut, upeti yang tidak dapat dibayar oleh rakyat diharuskan bekerja rodi. Kaum Gelarang bertugas memungut upeti dari Lengge (rakyat jelata). Kaum Gelarang ini merupakan penjaga tanah raja dan sebagai kaum penyambung lidah antara golongan Kraeng dengan Lengge. Status Lengge adalah status yang selalu terancam. Kelompok ini harus selalu bayar pajak, pekerja rodi, dan berkemungkinan besar menjadi hamba sahaya yang sewaktu-waktu dapat dibawah ke Bima dan sangat kecil sekali dapat kembali melihat tempat kelahirannya.

 Referensi:

URL:  http://seninusantara.blogspot.com/2011/10/budaya-nusa-tenggara-timur.html